Merdeka.com - Pengamat ekonomi melihat ada harga yang harus
dibayar selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (
SBY).
Utamanya soal kemiskinan dan kesejahteraan sosial. Khususnya dalam hal
ketimpangan pendapatan masyarakat.
Ekonom Universitas Indonesia
Faisal Basri
dalam diskusi dihelat Indonesia Research & Strategic Analysis (IRSA), di
Jakarta, Rabu (2/7), menyitir Indeks Piketty. Di situ dijelaskan perbandingan
perbedaan pendapatan 20 orang terkaya dengan warga kebanyakan antar negara.
"Dari data 2008-2012 ini, ketimpangan kita bahkan lebih
buruk dari India. Jadi makin kaya Anda, makin gencar kemajuannya. Makin miskin,
semakin lambat perkembangan Anda," ujarnya.
Diukur dari koefisien gini pemilikan tanah, kondisi
2004-2014 juga semakin buruk. Faisal mengarakan indeksnya mencapai 0,7,
menempatkan keadilan distribusi pengolahan lahan produktif di Tanah Air hanya
sekelas negara miskin seperti Bangladesh atau Chad.
Guru Besar Ekonomi Emeritus UI
Emil Salim
memaparkan data serupa. Selama 12 tahun terakhir, 80 persen Produk Domestik
Bruto (PDB) nasional disumbangkan Jawa, Sumatera, dan Bali saja. Demikian pula
pembangunan yang terlalu bertumpu pada perkotaan.
Kalau kondisi ini diteruskan pemerintahan baru, maka
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan pecah. Terutama karena muncul
resistensi dan ketidakpuasan dari desa-desa di Indonesia timur akan membesar.
Sudah terbukti ongkos logistik Surabaya-Merauke lebih mahal
dibandingkan mengekspor komoditas ke luar negeri.
"Tidak boleh dipertahankan memburuknya ketimpangan ini,
jangan hanya bangun kota, jangan merugikan negara kesatuan. Republik ini 65
persen di desa, jadi soal timur-barat ini harus diatasi. Padahal kita bicara
NKRI selau Sabang sampai Merauke," kata Emil.
Di sisi lain, anggota Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K) Ari A. Perdana menjelaskan bahaya ketimpangan yang membesar.
Dalam rezim pemerintahan 10 tahun terakhir, koefisien gini tembus 0,41. Padahal
di era Orde Baru, kesenjangan orang kaya dan miskin tak pernah melewati angka
0,39.
"Situasi ini bisa dirasakan. Gampangnya gini deh, kalau
kelas menengah jalan ke suatu tempat dan tidak merasa aman, di situ tandanya
ketimpangan pendapatan menciptakan dampak buruk," kata Ari.
Sebelumnya,
Badan Pusat
Statistik mengumumkan jumlah penduduk miskin antara periode Maret 2013 dan
Maret 2014 melonjak 110.000 jiwa.
Garis kemiskinan nasional pun dinyatakan naik 11,45 persen
dibanding September 2013, menjadi Rp 302.732 per kapita per bulan. Adapun
jumlah penduduk miskin hingga Maret lalu sebesar 28,2 juta orang, alias 11,25
persen dari total populasi.
Faisal mengatakan, ada penurunan penduduk miskin selama era
SBY,
tapi dengan alokasi APBN sedemikian besar efeknya tak lebih baik dibanding Orde
Baru.
"Penduduk miskin 11,25 persen itu sudah pernah dicapai
pada 1996. Jadi enggak banyak yang berubah," tandasnya.