Rabu, 02 Juli 2014

Ekonom Ramai-Ramai Kritik Jurang Kaya-Miskin Selama SBY Berkuasa



Merdeka.com - Pengamat ekonomi melihat ada harga yang harus dibayar selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Utamanya soal kemiskinan dan kesejahteraan sosial. Khususnya dalam hal ketimpangan pendapatan masyarakat.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri dalam diskusi dihelat Indonesia Research & Strategic Analysis (IRSA), di Jakarta, Rabu (2/7), menyitir Indeks Piketty. Di situ dijelaskan perbandingan perbedaan pendapatan 20 orang terkaya dengan warga kebanyakan antar negara.
"Dari data 2008-2012 ini, ketimpangan kita bahkan lebih buruk dari India. Jadi makin kaya Anda, makin gencar kemajuannya. Makin miskin, semakin lambat perkembangan Anda," ujarnya.
Diukur dari koefisien gini pemilikan tanah, kondisi 2004-2014 juga semakin buruk. Faisal mengarakan indeksnya mencapai 0,7, menempatkan keadilan distribusi pengolahan lahan produktif di Tanah Air hanya sekelas negara miskin seperti Bangladesh atau Chad.
Guru Besar Ekonomi Emeritus UI Emil Salim memaparkan data serupa. Selama 12 tahun terakhir, 80 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional disumbangkan Jawa, Sumatera, dan Bali saja. Demikian pula pembangunan yang terlalu bertumpu pada perkotaan.
Kalau kondisi ini diteruskan pemerintahan baru, maka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan pecah. Terutama karena muncul resistensi dan ketidakpuasan dari desa-desa di Indonesia timur akan membesar.
Sudah terbukti ongkos logistik Surabaya-Merauke lebih mahal dibandingkan mengekspor komoditas ke luar negeri.
"Tidak boleh dipertahankan memburuknya ketimpangan ini, jangan hanya bangun kota, jangan merugikan negara kesatuan. Republik ini 65 persen di desa, jadi soal timur-barat ini harus diatasi. Padahal kita bicara NKRI selau Sabang sampai Merauke," kata Emil.
Di sisi lain, anggota Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Ari A. Perdana menjelaskan bahaya ketimpangan yang membesar. Dalam rezim pemerintahan 10 tahun terakhir, koefisien gini tembus 0,41. Padahal di era Orde Baru, kesenjangan orang kaya dan miskin tak pernah melewati angka 0,39.
"Situasi ini bisa dirasakan. Gampangnya gini deh, kalau kelas menengah jalan ke suatu tempat dan tidak merasa aman, di situ tandanya ketimpangan pendapatan menciptakan dampak buruk," kata Ari.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik mengumumkan jumlah penduduk miskin antara periode Maret 2013 dan Maret 2014 melonjak 110.000 jiwa.
Garis kemiskinan nasional pun dinyatakan naik 11,45 persen dibanding September 2013, menjadi Rp 302.732 per kapita per bulan. Adapun jumlah penduduk miskin hingga Maret lalu sebesar 28,2 juta orang, alias 11,25 persen dari total populasi.
Faisal mengatakan, ada penurunan penduduk miskin selama era SBY, tapi dengan alokasi APBN sedemikian besar efeknya tak lebih baik dibanding Orde Baru.
"Penduduk miskin 11,25 persen itu sudah pernah dicapai pada 1996. Jadi enggak banyak yang berubah," tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar