Rabu, 02 Juli 2014

Kerjasama Internasional Ekonomi Indonesia



Kerjasama Internasional Ekonomi Indonesia

Respons kebijakan di masing-masing negara juga diperkuat dengan kerja sama internasional. Penguatan kerja sama internasional ditempuh sebagai respons atas proses pemulihan ekonomi global yang berjalan lamban disertai dengan peningkatan risiko di sejumlah negara EM. Lambannya proses pemulihan ekonomi global diakibatkan oleh sejumlah faktor seperti ketidakpastian kebijakan, deleveraging sektor swasta, intermediasi yang belum pulih, proses penyeimbangan global yang belum sempurna, serta masih tingginya ketidakpastian ekonomi negara-negara maju sebagai dampak dari konsolidasi fiskal. Selain itu, isu kesinambungan fiskal dan stabilitas keuangan juga menjadi tantangan jangka menengah khususnya di negara-negara maju. Kondisi ini pada akhirnya menyadarkan negara-negara di seluruh dunia akan arti penting reformasi struktural dan koordinasi kebijakan.
Dalam kerja sama internasional tersebut disadari bahwa proses rebalancing pertumbuhan ekonomi tidak bisa hanya bertumpu pada negara-negara EM. Negara-negara EM yang sejak krisis keuangan global tahun 2008 diharapkan dapat menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi dunia mulai dipertanyakan resiliensinya. Menyikapi hal ini, fokus pembahasan pada fora kerja sama internasional selama tahun 2013 diarahkan pada upaya percepatan pemulihan dan stabilitas ekonomi dan keuangan, isu kesinambungan fiskal di negara maju, penguatan resiliensi negara-negara EM, serta penyelesaian ketidakpastian dan ketidakseimbangan pasar keuangan akibat dampak tapering quantitative easing (QE).
Menyadari permasalahan tersebut, forum G20 dan IMF sepakat untuk melanjutkan upaya reformasi struktural dan koordinasi kebijakan serta mempercepat realisasi komitmen kebijakan. Untuk itu, negara-negara G20 menetapkan sejumlah langkah prioritas. Pertama, meningkatkan potensi pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja dengan terus berupaya memperkuat fondasi pertumbuhan jangka panjang. Kedua, menghindari kebijakan domestik yang dapat merugikan negara lain. Ketiga, menyusun strategi fiskal yang kredibel (medium term fiscal target). Keempat, mempertajam surveillance perekonomian global. Terakhir, memperbaiki macrofinancial analysis dan meningkatkan policy advice.
Negara anggota G-20 juga berkomitmen untuk menahan diri dari kebijakan depresiasi kompetitif serta menolak segala bentuk proteksionisme. Hal ini untuk merespons dampak negatif kebijakan moneter longgar yang dapat berujung pada perang nilai tukar (currency war). Oleh karena itu, kebijakan nilai tukar tidak akan ditujukan untuk meningkatkan daya saing ekspor. Dengan kata lain, kebijakan moneter lebih diarahkan pada stabilitas harga dan pemulihan ekonomi domestik.
Fora kerja sama internasional, baik di tataran multilateral maupun regional, juga memberikan perhatian pada dampak spillover exit policy dari kebijakan quantitative easing di negara maju terhadap negara-negara EM. Fora ekonomi tersebut menyepakati bahwa guna meminimalisir kemungkinan negative spillovers, proses exit kebijakan monetary easing di negara maju perlu dikelola dan dikomunikasikan secara hati-hati. Oleh karena itu, komunikasi yang jelas terkait dengan arah kebijakan bank sentral sebagai forward guidance menjadi sangat penting untuk ditempuh.
Berkaitan dengan reformasi sektor keuangan, forum G20 akan memantau dan menilai dampak dari reformasi regulasi sektor keuangan terhadap ketahanan sistem keuangan, stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Ketahanan dan stabilitas sistem keuangan perlu dijaga dengan membangun institusi keuangan yang sehat serta memperkuat pengawasan dan pengaturan shadow banking. Beberapa langkah untuk membangun institusi keuangan yang sehat dan mengakhiri “too-big-to-fail” diupayakan melalui implementasi Basel III secara konsisten sesuai dengan jadwal serta finalisasi rekomendasi kerangka Basel III di area leverage dan net stable funding ratio. Selain itu, negara-negara G20 juga telah menyepakati roadmap untuk memperkuat pengawasan dan pengaturan shadow banking sesuai kondisi masing-masing negara hingga akhir 2015.
Di samping penerapan Basel III serta pengawasan dan pengaturan shadow banking, negara-negara G20 memandang perlu untuk melakukan upaya reformasi sektor keuangan secara lebih komprehensif. Upaya reformasi sektor keuangan tersebut antara lain meliputi: (i) implementasi Key Attributes of Effective Resolution Regimes FSB di sektor keuangan yang memiliki risiko sistemik sekaligus mengatasi hambatan implementasi resolusi krisis lintas negara; (ii) penyusunan rekomendasi mengenai kecukupan modal lembaga keuangan yang dinilai sistemik secara global; (iii) publikasi daftar perusahaan asuransi yang sistemik secara global; (iv) penyusunan rekomendasi untuk infrastruktur pasar keuangan yang sistemik; (v) peningkatan transparansi dan ketahanan pasar keuangan melalui rencana tindak lanjut sesuai jadwal implementasi reformasi pasar OTC derivatives, (vi) percepatan upaya mengurangi ketergantungan pada lembaga pemeringkat Credit Rating Agency (CRA), (vii) peningkatan transparansi dan kompetisi antarlembaga pemeringkat kredit; dan (viii) kepatuhan terhadap standar kerja sama internasional dan pertukaran informasi dalam rangka pengawasan dan pengaturan sektor keuangan.
Selain sektor keuangan, forum G20 juga menyoroti sejumlah isu-isu penting lainnya yang diperkirakan dapat mendukung proses pemulihan ekonomi dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Beberapa fokus kerja sama pembangunan yang disepakati meliputi: (i) ketahanan pangan, (ii) keuangan inklusif, (iii) pengembangan SDM dan mobilisasi sumber daya domestik untuk pembangunan, (iv) mendorong pendanaan jangka panjang untuk investasi, terutama infrastruktur dan UKM, (v) mendukung sistem perdagangan multilateral agar tercapai hasil dalam proses negosiasi perdagangan WTO, dan (vi) mengatasi penggelapan pajak (tax evasion), terutama terkait isu perpajakan lintas batas, melalui pembaharuan peraturan terkait penghindaran pajak.
Menutup akhir tahun 2013, negara-negara G20 menyepakati St. Petersburg Action Plan yang menggambarkan upaya untuk mengatasi risiko jangka pendek, sekaligus memperkuat fondasi untuk pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan. Untuk mengatasi risiko jangka pendek, negara-negara G20 akan fokus pada: (i) upaya memperkuat stabilitas keuangan Kawasan Eropa, (ii) mendorong kebijakan fiskal yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, (iii) mendorong investasi, khususnya infrastruktur, (iv) memelihara stabilitas keuangan dan memperkuat ketahanan perekonomian terhadap gejolak eksternal, dan (v) melangkah maju dalam mewujudkan sistem nilai tukar yang fleksibel di setiap negara sesuai dengan mekanisme pasar dan merefleksikan fundamental ekonominya. Untuk memperkuat landasan pertumbuhan ekonomi jangka panjang, negara-negara G20 sepakat untuk: (i) merumuskan strategi fiskal jangka menengah yang kredibel dengan pendekatan yang fleksibel untuk mendorong pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, dan (ii) melaksanakan agenda reformasi struktural yang lebih relevan, konkrit dan tepat sasaran.
Di tataran regional, peningkatan risiko ekonomi dan pasar keuangan global semakin mendorong negara kawasan membenahi permasalahan struktural di setiap negara. Upaya peningkatan permintaan domestik guna menopang ekonomi dunia tanpa diiringi dengan reformasi struktural disadari telah meningkatkan risiko ekonomi di sejumlah negara EM. Meskipun ketahanan fundamental ekonomi negara kawasan relatif kuat dibandingkan sebelum krisis Asia 1997, para otoritas kebijakan menyadari bahwa reformasi struktural mutlak dilakukan untuk meningkatkan potensi pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan.
Reformasi struktural tersebut juga perlu didukung kebijakan yang kredibel baik fiskal dan moneter untuk menjaga stabilitas di pasar keuangan.
Peningkatan risiko serta ketidakpastian dan ketidakseimbangan pasar keuangan global semakin mendorong otoritas negara kawasan untuk lebih mengedepankan aspek stabilitas di sektor keuangan dengan memperkuat kerja sama antarbank sentral. Sebagai langkah konkrit, negara-negara ASEAN+3 (ASEAN, Jepang, China, dan Korea) menyepakati untuk mempererat kerja sama khususnya dalam mempertahankan resiliensi dan memelihara stabilitas sistem keuangan kawasan melalui penguatan dan penyempurnaan jaring pengaman keuangan. Salah satu upaya yang dijalin yaitu dengan memperkuat bantalan kecukupan cadangan devisa secara berlapis (second line of defense) melalui mekanisme swap dengan negara-negara counterparty ASEAN+3.
Komitmen untuk menjaga stabilitas pasar keuangan di kawasan juga dilakukan dalam bentuk upaya pendalaman pasar keuangan. Pendalaman pasar keuangan dilakukan melalui pengembangan pasar obligasi, perbaikan regulasi, serta pengembangan infastruktur. Hingga 2013, terdapat kemajuan yang cukup berarti yaitu untuk pertama kalinya diluncurkan program penjaminan atas penerbitan obligasi kawasan. Penjaminan tersebut dilakukan oleh Credit Guarantee Investment Facility (CGIF) yang merupakan lembaga bentukan Asian Bond Market Initiative (ABMI). Lebih lanjut, dalam pertemuan Asian Bond Market Forum (ABMF) dihasilkan kesepakatan perlunya kemitraan regulator dan swasta yang akan diwujudkan berupa partisipasi anggota dalam Cross Border Settlement Infrastructure Forum (CSIF). Forum ini yang akan mengawal perbaikan proses setelmen secara lintas batas termasuk kemungkinan didirikannya Regional Settlement Intermediary (RSI).
Upaya integrasi ekonomi menuju Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA) juga masih terus berlanjut. Di dalam mendukung pencapaian KEA khususnya area liberalisasi aliran modal, negara ASEAN juga menyadari pentingnya stabilitas di sektor keuangan di tengah ketidakseimbangan pasar keuangan global. Oleh karena itu, disepakati adanya diskresi dalam bentuk safeguard measures untuk menjaga stabilitas sektor keuangan di kawasan. Agar safeguard measures tersebut tidak bertentangan dengan semangat menuju liberalisasi aliran modal yang lebih bebas, diperlukan adanya policy dialogue guna mengidentifikasi risiko makroekonomi dan stabilitas keuangan. Selain itu, negara di kawasan juga sepakat untuk melakukan pengelolaan kebijakan yang lebih fleksibel, termasuk diantaranya menerapkan macroprudential measures untuk memitigasi dampak dari capital outflows.
Di sektor perbankan, era suku bunga rendah memberikan tantangan yang cukup besar bagi industri perbankan di Asia Pasifik. Untuk itu, profitabilitas perbankan Asia Pasifik di era suku bunga rendah menjadi salah satu pembahasan utama pada pertemuan Bank for International Settlement (BIS). Pendapatan bunga (net interest margins/NIM) bank-bank Asia Pasifik menurun dan keuntungan perbankan komersial tradisional serta kurva imbal hasil (yield curves) cenderung flat. Oleh karena itu, pengembangan pasar obligasi dengan mata uang domestik, termasuk upaya financial market deepening diharapkan dapat menekan cost of fund perbankan sehingga dapat menjaga profitabilitas perbankan secara umum. Dengan menipisnya spread suku bunga diharapkan juga memberikan insentif bagi perbankan untuk menghapuskan inefisiensi yang pada gilirannya dapat menjaga profitabilitas.
Kerja sama internasional lain yang ditempuh di penghujung tahun 2013 adalah untuk pertama kalinya dalam sejarah World Trade Organization (WTO) tercapai kesepakatan untuk mendukung perdagangan dunia. Kesepakatan WTO tersebut dikenal sebagai ‘Paket Bali’ yang dideklarasikan pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM-WTO) ke-9, di Nusa Dua, Bali. Atas kesepakatan ini maka nilai perdagangan di dunia diperkirakan dapat mencapai sekitar 1 triliun dolar AS (sekitar Rp 12.000 triliun). Fokus ‘Paket Bali’ mencakup sepuluh poin pembahasan, yaitu: fasilitasi perdagangan, general services untuk pertanian, public stockholding untuk ketahanan pangan, tariff rate quota untuk produk pertanian, persaingan ekspor, perdagangan kapas, ketentuan asal barang, perlakuan khusus terhadap penyedia jasa dari negara kurang berkembang, Duty-Free and Quota-Free (DFQF) untuk negara kurang berkembang, dan mekanisme pengawasan Special and Differential Treatment terhadap negara kurang berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar