Kerjasama Internasional Ekonomi Indonesia
Respons kebijakan di masing-masing
negara juga diperkuat dengan kerja sama internasional. Penguatan kerja sama
internasional ditempuh sebagai respons atas proses pemulihan ekonomi global
yang berjalan lamban disertai dengan peningkatan risiko di sejumlah negara EM.
Lambannya proses pemulihan ekonomi global diakibatkan oleh sejumlah faktor
seperti ketidakpastian kebijakan, deleveraging sektor swasta,
intermediasi yang belum pulih, proses penyeimbangan global yang belum sempurna,
serta masih tingginya ketidakpastian ekonomi negara-negara maju sebagai dampak
dari konsolidasi fiskal. Selain itu, isu kesinambungan fiskal dan stabilitas
keuangan juga menjadi tantangan jangka menengah khususnya di negara-negara
maju. Kondisi ini pada akhirnya menyadarkan negara-negara di seluruh dunia akan
arti penting reformasi struktural dan koordinasi kebijakan.
Dalam kerja sama internasional
tersebut disadari bahwa proses rebalancing pertumbuhan ekonomi tidak
bisa hanya bertumpu pada negara-negara EM. Negara-negara EM yang sejak krisis
keuangan global tahun 2008 diharapkan dapat menjadi penopang utama pertumbuhan
ekonomi dunia mulai dipertanyakan resiliensinya. Menyikapi hal ini, fokus
pembahasan pada fora kerja sama internasional selama tahun 2013 diarahkan pada
upaya percepatan pemulihan dan stabilitas ekonomi dan keuangan, isu
kesinambungan fiskal di negara maju, penguatan resiliensi negara-negara EM,
serta penyelesaian ketidakpastian dan ketidakseimbangan pasar keuangan akibat
dampak tapering quantitative easing (QE).
Menyadari permasalahan tersebut,
forum G20 dan IMF sepakat untuk melanjutkan upaya reformasi struktural dan
koordinasi kebijakan serta mempercepat realisasi komitmen kebijakan. Untuk itu,
negara-negara G20 menetapkan sejumlah langkah prioritas. Pertama, meningkatkan
potensi pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja dengan terus berupaya
memperkuat fondasi pertumbuhan jangka panjang. Kedua, menghindari kebijakan
domestik yang dapat merugikan negara lain. Ketiga, menyusun strategi fiskal
yang kredibel (medium term fiscal target). Keempat, mempertajam surveillance
perekonomian global. Terakhir, memperbaiki macrofinancial analysis dan
meningkatkan policy advice.
Negara anggota G-20 juga berkomitmen
untuk menahan diri dari kebijakan depresiasi kompetitif serta menolak segala
bentuk proteksionisme. Hal ini untuk merespons dampak negatif kebijakan moneter
longgar yang dapat berujung pada perang nilai tukar (currency war). Oleh
karena itu, kebijakan nilai tukar tidak akan ditujukan untuk meningkatkan daya
saing ekspor. Dengan kata lain, kebijakan moneter lebih diarahkan pada
stabilitas harga dan pemulihan ekonomi domestik.
Fora kerja sama internasional, baik
di tataran multilateral maupun regional, juga memberikan perhatian pada dampak spillover
exit policy dari kebijakan quantitative easing di negara maju
terhadap negara-negara EM. Fora ekonomi tersebut menyepakati bahwa guna
meminimalisir kemungkinan negative spillovers, proses exit kebijakan
monetary easing di negara maju perlu dikelola dan dikomunikasikan secara
hati-hati. Oleh karena itu, komunikasi yang jelas terkait dengan arah kebijakan
bank sentral sebagai forward guidance menjadi sangat penting untuk
ditempuh.
Berkaitan dengan reformasi sektor
keuangan, forum G20 akan memantau dan menilai dampak dari reformasi regulasi
sektor keuangan terhadap ketahanan sistem keuangan, stabilitas dan pertumbuhan
ekonomi. Ketahanan dan stabilitas sistem keuangan perlu dijaga dengan membangun
institusi keuangan yang sehat serta memperkuat pengawasan dan pengaturan shadow
banking. Beberapa langkah untuk membangun institusi keuangan yang sehat dan
mengakhiri “too-big-to-fail” diupayakan melalui implementasi Basel III
secara konsisten sesuai dengan jadwal serta finalisasi rekomendasi kerangka
Basel III di area leverage dan net stable funding ratio. Selain
itu, negara-negara G20 juga telah menyepakati roadmap untuk memperkuat
pengawasan dan pengaturan shadow banking sesuai kondisi masing-masing
negara hingga akhir 2015.
Di samping penerapan Basel III serta
pengawasan dan pengaturan shadow banking, negara-negara G20 memandang
perlu untuk melakukan upaya reformasi sektor keuangan secara lebih
komprehensif. Upaya reformasi sektor keuangan tersebut antara lain meliputi:
(i) implementasi Key Attributes of Effective Resolution Regimes FSB di
sektor keuangan yang memiliki risiko sistemik sekaligus mengatasi hambatan
implementasi resolusi krisis lintas negara; (ii) penyusunan rekomendasi
mengenai kecukupan modal lembaga keuangan yang dinilai sistemik secara global;
(iii) publikasi daftar perusahaan asuransi yang sistemik secara global; (iv)
penyusunan rekomendasi untuk infrastruktur pasar keuangan yang sistemik; (v)
peningkatan transparansi dan ketahanan pasar keuangan melalui rencana tindak lanjut
sesuai jadwal implementasi reformasi pasar OTC derivatives, (vi)
percepatan upaya mengurangi ketergantungan pada lembaga pemeringkat Credit
Rating Agency (CRA), (vii) peningkatan transparansi dan kompetisi antarlembaga
pemeringkat kredit; dan (viii) kepatuhan terhadap standar kerja sama
internasional dan pertukaran informasi dalam rangka pengawasan dan pengaturan
sektor keuangan.
Selain sektor keuangan, forum G20
juga menyoroti sejumlah isu-isu penting lainnya yang diperkirakan dapat
mendukung proses pemulihan ekonomi dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Beberapa
fokus kerja sama pembangunan yang disepakati meliputi: (i) ketahanan pangan,
(ii) keuangan inklusif, (iii) pengembangan SDM dan mobilisasi sumber daya
domestik untuk pembangunan, (iv) mendorong pendanaan jangka panjang untuk
investasi, terutama infrastruktur dan UKM, (v) mendukung sistem perdagangan
multilateral agar tercapai hasil dalam proses negosiasi perdagangan WTO, dan
(vi) mengatasi penggelapan pajak (tax evasion), terutama terkait isu perpajakan
lintas batas, melalui pembaharuan peraturan terkait penghindaran pajak.
Menutup akhir tahun 2013,
negara-negara G20 menyepakati St. Petersburg Action Plan yang
menggambarkan upaya untuk mengatasi risiko jangka pendek, sekaligus memperkuat
fondasi untuk pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan. Untuk mengatasi
risiko jangka pendek, negara-negara G20 akan fokus pada: (i) upaya memperkuat
stabilitas keuangan Kawasan Eropa, (ii) mendorong kebijakan fiskal yang dapat
mendukung pertumbuhan ekonomi, (iii) mendorong investasi, khususnya
infrastruktur, (iv) memelihara stabilitas keuangan dan memperkuat ketahanan
perekonomian terhadap gejolak eksternal, dan (v) melangkah maju dalam
mewujudkan sistem nilai tukar yang fleksibel di setiap negara sesuai dengan
mekanisme pasar dan merefleksikan fundamental ekonominya. Untuk memperkuat
landasan pertumbuhan ekonomi jangka panjang, negara-negara G20 sepakat untuk:
(i) merumuskan strategi fiskal jangka menengah yang kredibel dengan pendekatan
yang fleksibel untuk mendorong pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja,
dan (ii) melaksanakan agenda reformasi struktural yang lebih relevan, konkrit
dan tepat sasaran.
Di
tataran regional, peningkatan risiko ekonomi dan pasar keuangan global semakin
mendorong negara kawasan membenahi permasalahan struktural di setiap negara.
Upaya peningkatan permintaan domestik guna menopang ekonomi dunia tanpa
diiringi dengan reformasi struktural disadari telah meningkatkan risiko ekonomi
di sejumlah negara EM. Meskipun ketahanan fundamental ekonomi negara kawasan
relatif kuat dibandingkan sebelum krisis Asia 1997, para otoritas kebijakan
menyadari bahwa reformasi struktural mutlak dilakukan untuk meningkatkan
potensi pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan.
Reformasi struktural tersebut juga
perlu didukung kebijakan yang kredibel baik fiskal dan moneter untuk menjaga
stabilitas di pasar keuangan.
Peningkatan risiko serta
ketidakpastian dan ketidakseimbangan pasar keuangan global semakin mendorong
otoritas negara kawasan untuk lebih mengedepankan aspek stabilitas di sektor
keuangan dengan memperkuat kerja sama antarbank sentral. Sebagai langkah
konkrit, negara-negara ASEAN+3 (ASEAN, Jepang, China, dan Korea) menyepakati
untuk mempererat kerja sama khususnya dalam mempertahankan resiliensi dan
memelihara stabilitas sistem keuangan kawasan melalui penguatan dan
penyempurnaan jaring pengaman keuangan. Salah satu upaya yang dijalin yaitu
dengan memperkuat bantalan kecukupan cadangan devisa secara berlapis (second
line of defense) melalui mekanisme swap dengan negara-negara counterparty
ASEAN+3.
Komitmen untuk menjaga stabilitas
pasar keuangan di kawasan juga dilakukan dalam bentuk upaya pendalaman pasar
keuangan. Pendalaman pasar keuangan dilakukan melalui pengembangan pasar
obligasi, perbaikan regulasi, serta pengembangan infastruktur. Hingga 2013,
terdapat kemajuan yang cukup berarti yaitu untuk pertama kalinya diluncurkan
program penjaminan atas penerbitan obligasi kawasan. Penjaminan tersebut
dilakukan oleh Credit Guarantee Investment Facility (CGIF) yang merupakan
lembaga bentukan Asian Bond Market Initiative (ABMI). Lebih lanjut, dalam
pertemuan Asian Bond Market Forum (ABMF) dihasilkan kesepakatan perlunya
kemitraan regulator dan swasta yang akan diwujudkan berupa partisipasi anggota
dalam Cross Border Settlement Infrastructure Forum (CSIF). Forum ini yang akan
mengawal perbaikan proses setelmen secara lintas batas termasuk kemungkinan
didirikannya Regional Settlement Intermediary (RSI).
Upaya integrasi ekonomi menuju
Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA) juga masih terus berlanjut. Di dalam mendukung
pencapaian KEA khususnya area liberalisasi aliran modal, negara ASEAN juga
menyadari pentingnya stabilitas di sektor keuangan di tengah ketidakseimbangan
pasar keuangan global. Oleh karena itu, disepakati adanya diskresi dalam bentuk
safeguard measures untuk menjaga stabilitas sektor keuangan di kawasan.
Agar safeguard measures tersebut tidak bertentangan dengan semangat
menuju liberalisasi aliran modal yang lebih bebas, diperlukan adanya policy
dialogue guna mengidentifikasi risiko makroekonomi dan stabilitas keuangan.
Selain itu, negara di kawasan juga sepakat untuk melakukan pengelolaan
kebijakan yang lebih fleksibel, termasuk diantaranya menerapkan macroprudential
measures untuk memitigasi dampak dari capital outflows.
Di sektor perbankan, era suku bunga
rendah memberikan tantangan yang cukup besar bagi industri perbankan di Asia
Pasifik. Untuk itu, profitabilitas perbankan Asia Pasifik di era suku bunga
rendah menjadi salah satu pembahasan utama pada pertemuan Bank for
International Settlement (BIS). Pendapatan bunga (net interest margins/NIM) bank-bank
Asia Pasifik menurun dan keuntungan perbankan komersial tradisional serta kurva
imbal hasil (yield curves) cenderung flat. Oleh karena itu,
pengembangan pasar obligasi dengan mata uang domestik, termasuk upaya financial
market deepening diharapkan dapat menekan cost of fund perbankan
sehingga dapat menjaga profitabilitas perbankan secara umum. Dengan menipisnya spread
suku bunga diharapkan juga memberikan insentif bagi perbankan untuk
menghapuskan inefisiensi yang pada gilirannya dapat menjaga profitabilitas.
Kerja
sama internasional lain yang ditempuh di penghujung tahun 2013 adalah untuk
pertama kalinya dalam sejarah World Trade Organization (WTO) tercapai
kesepakatan untuk mendukung perdagangan dunia. Kesepakatan WTO tersebut dikenal
sebagai ‘Paket Bali’ yang dideklarasikan pada Konferensi Tingkat Menteri
(KTM-WTO) ke-9, di Nusa Dua, Bali. Atas kesepakatan ini maka nilai perdagangan
di dunia diperkirakan dapat mencapai sekitar 1 triliun dolar AS (sekitar Rp
12.000 triliun). Fokus ‘Paket Bali’ mencakup sepuluh poin pembahasan, yaitu:
fasilitasi perdagangan, general services untuk pertanian, public
stockholding untuk ketahanan pangan, tariff rate quota untuk produk
pertanian, persaingan ekspor, perdagangan kapas, ketentuan asal barang,
perlakuan khusus terhadap penyedia jasa dari negara kurang berkembang, Duty-Free
and Quota-Free (DFQF) untuk negara kurang berkembang, dan mekanisme
pengawasan Special and Differential Treatment terhadap negara kurang
berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar